t=v1+v2 , Rumus Cerdas dan Jitu Meningkatkan Traffic dan Popularity Situs

Sabtu, 10 April 2010


t=v1+v2 , Rumus Cerdas dan Jitu Meningkatkan Traffic dan Popularity Situs
Mohon baca baik-baik lalu terapkan dengan benar….
Sebuah filosofi mengatakan “Honesty is The Best Policy (Kejujuran adalah politik/strategi terbaik)”, inilah yang akan kita buktikan….apakah konsep kejujuran bisa kita olah menghasilkan traffic dan popularity yang lebih hebat dari konsep rumit para expert webmaster atau pakar SEO..?…
Saya yakin bisa asal konsep ini di jalankan dengan benar…,bila ini di terapkan pada web anda sesuai ketentuan maka:
* Web anda akan kebanjiran traffic pengunjung secara luar biasa hari demi hari, tanpa perlu repot-repot memikirkan SEO atau capek-capek promosi ke berbagai tempat di dunia internet.
* Web anda akan kebanjiran backlink secara luarbiasa hari demi hari, tanpa perlu repot-repot berburu link keberbagai tempat di dunia internet.

Jika Albert Einstein memakai persamaan e=mc² untuk menggabungkan potensi masa dan kecepatan cahaya untuk menghasilkan energi nuklir yang luar biasa itu ,maka kita akan memakai persamaan t=v1+v2 untuk menggabungkan potensi web saya dan web anda untuk menghasilkan traffic dan popularity yang luar biasa pula.
Jika Einstein menggunakan atom plutonium dan uranium untuk membuat bom nuklir, maka kita menggunakan Kejujuran dan ketepatan untuk membuat bom traffic dan popularity ini.
Yang perlu anda lakukan adalah ikuti langkah-langkah berikut :
1. Buat posting artikel seperti posting saya ini, atau copy-paste posting ini dan juga diberi berjudul : t=v1+v2, Rumus Cerdas dan Jitu Meningkatkan Traffic dan Popularity Situs
2. Selanjutnya Copy atau buat kalimat “MAGIC TRICK” yang ada di bawah nomor 4 ini lalu pasang di web anda pada bagian yang paling mudah dilihat pengunjung, misalnya di bagian atas sidebar.t=v1+v2, Cara Cerdas, Jujur dan Jitu Meningkatkan Traffic dan Popularity Situs
3. Pindahkan atau ganti link atau alamat url posting saya (KLIK DISINI-1) menggantikan alamat url rekan saya (KLIK DISINI-2). Untuk mengetahui alamat url posting saya dan posting yang anda buat adalah bisa dengan meng-klik judul/title posting yang kita buat ini.
4. Lalu isi alamat url posting anda pada disini-1 tadi. Jadi anda melakukan publish (terbitkan) 2 kali, setelah posting ini selesai anda buat lalu di terbitkan, dan lalu anda klik pada title (judul) posting untuk mengambbil/meng-copy alamat url posting anda dari address bar browser anda, lalu anda edit lagi posting tadi dan masukan pada link disini-1 itu. Berikut tulisan “MAGIC TRICK” yang perlu anda pasang di bagian web anda (setelah di ganti link url-nya sesuai ketentuan di atas)
“Ingin meningkatkan traffic pengunjung dan popularity web anda secara cepat dan tak terbatas…? Serahkan pada saya…! Saya akan melakukannya untuk anda GRATIS…!. ( KLIK DISINI-1 )) dan ( KLIK DISINI-2 )
Jadi setelah kalimat “MAGIC TRICK” ini di letakan di web anda maka: jika pengunjung meng-klik link disini-1 akan menuju link posting anda, dan jika meng-klik disini-2 akan menuju link posting saya…dan seterusnya akan terus terjadi mata rantai yang tak terputus seperti itu…
5. Di bawah ini ada 2 link : link anda (link web saya sekarang) dan link saya (link web rekan saya sekarang) . Maka ganti (alamatnya) “link anda” dengan “link url web anda” dan “link saya dengan link url web saya” (link rekan saya di hapus).
LINK ANDA
LINK SAYA
6. Selesai, siapkan counter tracker dan pengecek link misalnya sitemeter dan technorati untuk melihat hasil banjir traffic dan linkback web anda.
Apa itu t=v1+t2…?

t : Jumlah traffic yang akan di peroleh web anda dalam suatu hari
v1 : Jumlah pengunjung web anda dalam suatu hari
v2 : Jumlah pengunjung yang dimiliki v1 (pengunjung dari pengunjung web anda) dalam suatu hari.
Traffic:
Misalnya, web saya ini atau web anda dalam sehari memiliki rata-rata pengunjung 50 orang.., dan semuanya menerapkan konsep kita ini (MAGIC TRICK) dengan benar, dan dari 50 orang itu masing-masing memiliki 50 orang pula pengunjung dari blog-nya , maka web kita akan berpeluang di kunjungi 50 ditambah 50 x 50 orang pada hari itu = 2550 orang , dan akan berpeluang terus meningkat pula hari demi hari ,karena setiap hari selalu ada pengunjung baru di dunia internet, setiap hari juga ada blogger atau web baru di dunia internet…
Popularity:
Misalnya, web kita memiliki pengunjung 50 orang dalam suatu hari, dan semuannya menerapkan konsep ini , maka dalam hari itu web anda akan mendapatkan 100 linkback ke web anda, yaitu sebuah link pada kalimat “MAGIC TRICK” dan sebuah link pada link saya di kalikan 50. dan akan berpeluang meningkat terus hari demi hari….
Kenapa perlu di buat link link anda dan link saya pada posting…?
hal ini untuk menjaga keabadian link kita, karena seperti kita tau link pada posting lebih kecil kemungkinannya terhapus….
Bisakah kita berbuat tidak fair atau tidak jujur menyabotase konsep ini, misalnya “menghilangkan semua link asal” lalu di isi dengan web/blog kita sendiri…? ….Bisa, dan konsep ini tidak akan menjadi maksimal untuk membuktikan Kejujuran adalah strategi/politik terbaik…..Tapi saya yakin bahwa kita semua tak ingin menjatuhkan kredibilitas diri sendiri dengan melakukan tindakan murahan seperti itu…
Dampak jika anda terbukti tidak jujur:

1. Akan muncul komentar2 yang akan menjatuhkan blog yang anda buat, baik di milis, keluhan pelanggan, maupun di kotak komentar anda sendiri, sehingga blogger lain tidak akan percaya lagi dengan anda.
2. Karena ketidakpercayaan tersebut, blogger tersebut pasti akan mencari blog lain yang benar2 terbukti tips2nya, sehingga blog anda akan ditinggalkan.
3. Jika anda tidak menyebutkan sumber info ini (tidak jujur), maka sumber blog yang anda copy bisa saja melaporkan tindakan anda ke google, sehingga blog anda dibanned dan pageranknya kembali “0?
Jadi, silahkan anda lanjutkan trik ini dengan penuh kejujuran. Niscaya blog anda akan semakin ramai dikunjungi blogger lain. Selamat mencoba….!!!
Terima kasih
READ MORE - t=v1+v2 , Rumus Cerdas dan Jitu Meningkatkan Traffic dan Popularity Situs

Perdebatan yang Tak Berujung

Minggu, 06 Desember 2009


SEJAK diselenggarakan pertama kalinya pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Ujian Akhir Nasional (UAN), telah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan.

Tak terhitung pula banyaknya argumen yang disampaikan oleh pendukung maupun penolak UAN-yang belakangan berubah nama menjadi Ujian Nasional (UN).

Pengamat pendidikan Lukman Hakiem menuturkan, penolak UN berpandangan, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, hak untuk menentukan kelulusan peserta didik ada pada pendidik.

Sebab, guru sebagai pengajar, tentunya lebih tahu evaluasi peserta didiknya. Sementara pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, UN digagas oleh mantan Wapres Jusuf Kalla.

Saat itu, pemerintah menginginkan adanya standar nasional. Tujuannya adalah untuk mengukur kualitas peserta didik.

“Belakangan, UN menjadi penentu utama kelulusan siswa, meski secara tersurat, tidak tercantum dalam aturan. Sebab dalam peraturan pemerintah, UN hanyalah salah satu syarat kelulusan,” paparnya.

Yang terjadi berikutnya adalah, banyak peserta didik yang cemerlang prestasinya, kemudian gagal meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi karena yang bersangkutan tak lulus UN. “Ada kasus, siswa yang sudah diterima di Universitas Oxford Inggris, gagal karena dia tidak lulus UN,” ujarnya.

Tidak hanya itu, setiap tahun, selalu saja muncul permasalahan seputar UN. Hal itu tak lepas karena pihak yang pro dan kontra UN tetap pada pendiriannya. Dari semuanya itu, murid sebagai peserta didiklah yang paling menderita.
“Setiap pelaksanaan UN, murid selalu menjadi terhukum.

Padahal, ketidaklulusan itu bukan selalu disebabkan karena murid itu bodoh. Sebab, bisa saja pengajarnya memang tidak bagus dan sarana prasarana sekolahnya yang kurang memadai,” imbuhnya.

Dia menemukan di sejumlah daerah, ada sekolah yang tidak memiliki laboratorium IPA atau Bahasa Inggris. Tak heran bila siswa di sekolah tersebut kesulitan mendapat nilai bagus dalam dua mata pelajaran tersebut.
“Bagaimana mau memenuhi standar nasional kalau masih ada sekolah yang yang belum standar,” kritiknya.

Meski dia melihat kebijakan UN tersebut terkesan dipaksakan, tetapi dirinya mengaku tidak menemukan bukti bahwa pelaksanaan UN hanya sekadar proyek.

Namun dia mencatat, sejumlah praktisi pendidikan yang awalnya “anti” UN, belakangan justru menjadi pendukung saat menjadi pejabat di Depdiknas.
Tak kunjung usainya perdebatan, juga membuat sejumlah elemen masyarakat yang menolak UN menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat mengungkapkan, pelaksanaan UN tidak sesuai fakta di lapangan.

Pada Mei 2007, gugatan tersebut dikabulkan oleh PN Jakpus. Para tergugat yang terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, dinilai telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.

Kemudian, PN Jakpus memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia , sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut.

Langkah Konkrit

PN Jakpus juga memerintahkan kepada para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN. Lalu pada butir berikutnya, PN Jakpus memerintahkan kepada para tergugat untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional.

Atas putusan tersebut, pemerintah kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun pada Desember 2007, banding yang diajukan juga ditolak. Selanjutnya, pemerintah mengajukan kasasi, yang juga ditolak oleh Mahkamah Agung pada 14 September 2009.

Tak pelak, putusan MA tersebut menimbulkan reaksi beragam. Bahkan sejumlah kalangan berpendapat, belum standarnya kualitas guru, sarana prasarana, akses informasi dan langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi bagi korban UN, menjadi dasar penghapusan UN.

Tak kurang Wakil Ketua Komisi X Heri Akhmadi berpandangan, legitimasi pelaksanaan UN telah rontok. Bahkan jika 2010 UN tetap dilaksanakan, hal itu dinilainya sebagai contoh buruk kepatuhan hukum dari menteri pendidikan nasional.

“Pemerintah bisa saja ngotot melaksanakan UN. Tetapi karena banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya serta adanya putusan MA tersebut, legitimasi UN telah rontok,” kata politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Bahkan menurutnya, jika UN tetap dilaksanakan, maka masyarakat akan semakin mencibir hasil UN. Namun, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, membantah dalam putusan MA tersebut terdapat pelarangan terhadap pelaksanaan UN.

Terlebih, tidak ada permohonan terkait dengan penghapusan UN. Menurutnya, majelis hakim kasasi MK menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. “MA tidak pernah melarang pelaksananaan UN. Namun MA memerintahkan agar pelaksanaan UN diperbaiki,” ucapnya.

Dengan dasar itu pula, Wakil Ketua Komisi X Hakam Naja menganggap UN 2010 tetap kredibel dilaksanakan.

Sebab menurut Hakam, hingga saat ini belum ada putusan hukum tetap pasca putusan MA, yang diikuti dengan rencana pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh pemerintah.

“Pelaksanaan UN 2010 tetap sah dan kredibel, selama belum ada putusan hukum tetap. Apalagi proses hukum masih berjalan dengan adanya rencana pengajuan PK oleh pemerintah,” kata politikus dari Partai Amanat Nasional tersebut.

Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai pelaksana UN juga berpendapat demikian. Sebab, tidak ada satu pun kalimat dalam putusan MA yang secara eksplisit menolak penyelenggaraan UN.

Anggota BSNP Mungin Edi Wibowo menegaskan, salah satu tugas BSNP yang tercantum dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, adalah menyelenggarakan UN. Dengan berpedoman pada hal itu, keliru bila tahun 2010 BSNP tidak menyelenggarakan UN.

“Kalaupun UN dihapus, maka PP mengenai hal itu harus diubah terlebih dahulu. Selama belum ada putusan penghapusan, maka BSNP akan tetap menyelenggarakan UN. Kami tidak berani melanggar amanat PP,” tegasnya.(Saktia Andri Susilo-76)
(Dikutip dari Harian Suara Merdeka Senin, 7 Desember 2009)
READ MORE - Perdebatan yang Tak Berujung

UN dan Mutu Pendidikan


PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan para penggugat disambut meriah dengan berbagai demo penolakan ujian nasional (UN) oleh masyarakat. Penolakan UN mendapatkan legitimasi hukum dengan putusan kasasi tersebut.
Sejak awal UN memang sudah mengundang penolakan berbagai pihak terutama para guru. Menurutnya, UN harus di kesampingkan sebagai syarat kelulusan seperti dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 72 Ayat (1) poin 4.
Namun pemerintah tetap pada pendiriannya bahwa tahun ini ujian sekolah tetap dilakukan. Menurut mendiknas, Ujian Nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan siswa. Ditegaskan bahwa untuk menentukan kelulusan harus memenuhi empat kriteria yakni pertama, menyelesaikan seluruh proses belajar-mengajar.
Kedua, lulus berkaitan dengan moral akhlak maupun administrasi. Ketiga, lulus ujian sekolah. Dan keempat, lulus Ujian Nasional. Tahun ini nilai UN ditetapkan minimal rata-rata 5,5, tapi boleh ada angka 4 dari salah satu mata pelajaran yang di UN-kan. Pernyataan Mendiknas itu tetap dijawab dengan demo penolakan UN di berbagai daerah. Nampaknya menolak lebih gampang daripada menyiapkan diri dengan baik untuk menempuh UN.
UN sejatinya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jangkar peningkatan mutu pendidikan melalui pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Namun sayangnya di lapangan banyak penyimpangan mulai dari penyimpangan pemahaman konsep tentang hakikat UN, hingga hakikat kelulusan yang menghalalkan segala cara. Atas kondisi tersebut itulah yang terjadi UN bukan sebagai jangkar peningkatan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi sumber keterpurukan.
Bencana itu mulai mengancam hakikat pendidikan nasional mana kala UN diposisikan sebagai penentu kelulusan, sehingga sekolah dan guru yang tidak siap dengan kondisi ini terpaksa menempuh jalan pintas dengan drill, dalam try out, bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar dan bahka ada yang sampai membentuk tim sukses dan beberapa kabupaten menolak kehadiran Tim Independen pemantau UN demi menjaga kesuksesan kecurangan yang mereka skenariokan untuk menyiasasti UN di daerahnya.
Kini bahkan ketika pemerintah tidak lagi menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan, toh telanjur sekolah, guru, siswa dan masyarakat menolaknya. Terlepas dari kurang sempurnanya penyelenggaraan UN, jika dicermati, penolakan itu juga menandakan lemahnya kesiapan sekolah, guru, siswa, dan masyarakat untuk menghargai budaya mutu dalam bidang pendidikan. Sekolah yang sudah memiliki kesadaran mutu tidak terlalu risau dengan UN karena mereka bisa menghadapi UN dengan sukses, namun sekolah kategori ini jumlahnya sangat kecil dibanding sekolah yang budaya mutunya masih lemah. Mereka inilah yang gigih menolak.
Tapak Historik
Ujian nasional bukanlah hal yang baru. Sejak 1945-1971 kita sudah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya, kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. Sistem ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971-1983; Ujian sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus; dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. Sistem ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas (1983-2002).
Dalam sistem ini dikenal kombinasi PQR, di mana nilai akhir atau kelulusan adalah P (nilai semester satu) + Q ( nilai semester dua) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semuanya lulus.
Pada saat itu, benar-benar tidak ada penjaminan mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir demikian pula kewibawaan guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak memotivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif; tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetisi untuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.
Penolakan UN bukan semata-mata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar performance guru memang masih jauh dari mutu yang syaratkan untuk bisa meluluskan murid dengan standar kelulusan sesuai standar UN. Lihat saja kinerja mereka para guru yang sudah lulus sertifikasi juga masih jauh panggang dari api.
Rendahnya kinerja guru tidak lepas dari penyiapan guru saat masih di LPTK ada guru-guru yang direkrut dari LPTK beneran dan ada juga guru yang direkrut dari LPTK abal-abal yang proses perkualiahannya tanpa ada kontrol mutu. Rekrutmen guru kita juga kental nuansa politik ketimbang nuansa akademik. Lihat demo para guru bantu, guru honorer untuk menjadi CPNS adalah indikasi rekrutmen guru bukan berbasis pertimbangan akademis melainkan lebih dilandasi kebijakan politik.
Celakanya, mereka ini lebih asyik menuntut hak-haknya sebagai PNS ketimbang sadar diri atas kewajibannya sebagai guru profesional untuk terus bergulat meningkatkan kemampuan profesionalnya. Kecurangan dalam sertifikasi, manipulasi dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat adalah jalan pintas yang dilakukan guru untuk mendapat hak kesejehteraannya. Akankah mereka bisa dituntut untuk mengajar lebih bermutu? Di tangan guru-guru yang rendah komitmen moralnya, rendah tanggung jawab profesionalnya maka UN menjadi momok yang harus ditolak.
Di samping rendah kinerja profesional guru, sisi lain yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah adalah manajemen sekolah. Umumnya, manajemen sekolah masih belum melakukan model penjaminan mutu yang kokoh dan terukur; dalam kondisi guru yang tidak siap dan kinerjanya masih rendah ditambah dengan manajemen sekolah yang belum nenerapkan sistem penjaminan mutu berkelanjutan maka penolakan UN adalah jalan pintas yang bisa dirasionalisasikan dengan dalih apa pun apalagi sekarang ada putusan MA yang bisa melegitimasi penolakan itu. Menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru jelas bukan hal yang bijak jika kita melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas.
Padahal dari sisi yuridis penyelenggaraan UN sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. UU Sistem Pendidikan Nasional; Pasal 11: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi; Pasal 35: Ada 8 Standar Nasional Pendidikan, dua di antaranya: Standar Kompetensi Lulusan; dan Standar Penilaian Pendidikan. Pasal 58 Ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Internal Evaluation); Pasal 58 Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (External Evaluation).
PP tentang Standar Nasional Pendidikan; Pasal 63; Ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian oleh pendidik; b. Penilaian oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian oleh Pemerintah. Pasal 66 Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Dari perspektif di atas UN masih layak dilanjutkan dengan berbagai perbaikan teknis, di sisi lain dibarengi dengan peningkatan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah yang berbasis peningkatan mutu berkelanjutan.
Perbaikan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah merukan dua ujung tombak peningkatan mutu pendidikan yang mendesak harus dilakukan. Berbagai kekurangan fasilitas dan sarana prasarana sejatinya bisa diatasi dengan manajemen sekolah yang baik ditambah dukungan dana investasi dan dana pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat.

Penjaminan Mutu Pendidikan
Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No 63 Tahun 2009 memberikan arahan yang jelas tentang penjaminan mutu pendidikan. Ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan yakni pertama, melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS), kedua; melakukan Monitoring Sekolah Oleh Pemerintah Daerah (MSPD).
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah melakukan manipulasi data dan fakta saat menghadapi tim asesor badan akreditasi sekolah. Melalui EDS hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.
Adapun Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan penjaminan mutu sekolah. Patut dicatat saat ini masih banyak pemkab/pemkot yang tidak memiliki sistem baku tentang penjaminan mutu pendidikan yang menjadi kewenangannya.
Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 30 provinsi untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah. LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dann kerangka konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan.
Dimulai dari pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah. Semuanya sudah disiapkan di LPMP yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD kepala dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. (76)
—Dr Nugroho MPd, Pakar Pendidikan Universitas Negeri Semarang.
READ MORE - UN dan Mutu Pendidikan

Workshop Kewirausahaan di SMK

Sabtu, 05 Desember 2009

Jakarta, - Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) Mohammad Nuh membuka Workshop Pendidikan Kewirausahaan di SMK,...Gedung A lt.3 Depdiknas, Jakarta, Senin (30/11/2009) sore.Dalam sambutannya, Mendiknas mengatakan, “syarat untuk menjadi seorang entrepreneur haruslah tahan banting menghadapi berbagai macam persoalan. Agar bisa tahan banting maka seseorang harus dapat memenej diri dengan potensi kemampuan psikologis yang dimilikinya. "Kalau syarat ini saja tidak dipenuhi tidak akan bisa jadi entrepreneur, syarat yang paling pokok tahan banting. Kalau belum dibanting saja sudah pecah tidak usah jadi entrepreneur, " katanya.Hadir pada acara Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dirjen Mandikdasmen) Depdiknas Suyanto, Direktur Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan (Dir.PSMK) Joko Sutrisno, pengusaha Bob Sadino, pakar marketing Hermawan Kartajaya, dan 159 Kepala SMK se Indonesia."seorang entrepreneur harus memiliki pola pikir yang terbuka. Orang itu harus mampu melihat di luar dari dirinya. Kemampuan lain yang harus dimiliki, kata Mendiknas, adalah berpikir secara fleksibel. "Fleksibel itu bukan berarti lepas dari jalur. Tidak akan keluar dari jalur, tetap di jalur," katanya.Untuk lebih sempurna lagi, lanjut Mendiknas, seorang entrepreneur harus dibekali dengan kemampuan teknis. Dia mencontohkan, jika seseorang ingin mengembangkan wirausaha di bidang elektronika maka minimal dia paham tentang prinsip-prinsip elektronika. Jika seseorang ingin mengembangkan wirausaha di bidang agro maka dia pun juga harus mengetahui prinsip-prinsip agro. "Intinya ada minimum teknical skill yang terkait dengan lingkup yang mau dikembangkan kewirausahaannya itu," katanya.Mendiknas menambahkan, seorang entrepreneur bukan untuk memenuhi dirinya sendirinya semata. Wirausaha, kata Mendiknas, pasti ada interaksi dengan masyarakat luar dan ada interaksi dengan dunia disiplin yang berbeda. "Tidak ada ceritanya seorang itu dikatakan wirausahawan entrepreneur kelas dunia, tapi dia membuat sendiri, dipakai-pakai sendiri. Itu bukan tipe wirausaha," ujarnya.Mendiknas mengemukakan, kebijakan pendidikan baik yang tertuang di dalam program 100 hari kerja Depdiknas maupun Rencana Strategis (Renstra) lima tahun ke depan memberikan ruang untuk pendidikan yang mampu mendorong kewirausahaan. "Itu adalah sesuatu hasil introspeksi dan refleksi dari sekian panjang perjalanan dunia pendidikan kita. Ternyata ada slot yang belum tergarap, sehingga sayang slot itu (kewirausahaan) kalau tidak digarap dengan baik," katanya.Dirjen Mandikdasmen Depdiknas Suyanto melaporkan, pada workshop yang akan diselenggarakan selama tiga hari ini membahas berbagai penajaman program implementasi kewirausahaan di SMK agar seperti yang diprogramkan oleh Presiden yaitu tercapai kesinambungan relevansi antara pendidikan dengan dunia kerja. "Workshop kewirausahaan ini bertujuan untuk mendiseminasikan berbagai peraturan baru yang berkaitan dengan program kewirausahaan SMK dan menggalang kemitraan dengan industri dan juga berbagai informasi antara kepala SMK tentang pengembangan kewirausahaan, " katanya.Pakar marketing Hermawan Kartajaya memandang tepat jika kewirausahaan itu dikembangkan di SMK. Lulusan SMK, kata dia, setelah lulus maka dia bisa langsung bekerja dan jadi entrepreneur atau dapat juga melanjutkan ke jenjang sarjana (S1). "SMK itu harusnya lebih advanced," katanya.Selain kewirausahaan, lanjut Hermawan, siswa SMK juga perlu dibekali dengan kemampuan marketing. "Entrepreneurship itu semangatnya, marketing itu strateginya, " katanya. -Sidiknas-Sumber : diknas.go.id
READ MORE - Workshop Kewirausahaan di SMK

Guru Non-PNS Perlu Perhatian

Jumat, 04 Desember 2009


JAKARTA - Meski penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 52 Tahun 2009 mengenai tambahan penghasilan bagi guru PNS Rp 250.000 per bulan, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta tidak melupakan guru non-PNS.

”Saya mengapresiasi langkah pemerintah yang terus berusaha meningkatkan kesejahteraan guru. Itu memang penting dan harus diprioritaskan. Namun harus diingat, guru non-PNS juga perlu diperhatikan,” kata anggota Komisi X DPR M Hanif Dhakiri, kemarin.

Dia menyatakan tak semua sekolah swasta dalam keadaan baik. Banyak yang masih memprihatinkan, baik prasarana dan sarana maupun kesejahteraan guru.

”Mereka tak boleh didiskriminasi karena dalam UU tentang Guru dan Dosen ditegaskan soal hak dan kewajiban yang sama antara guru PNS dan non-PNS. Jangan lupa, tugas dan beban mengajar guru swasta juga sama dengan guru PNS,” ujarnya.

Dia mengingatkan, jangan sampai guru non-PNS merasa dibedakan. Dia mencontohkan, subsidi tunjangan fungsional untuk guru non-PNS Rp 200.000 per bulan, misalnya, masih banyak dikeluhkan sebagai janji yang belum diwujudkan.

”Padahal, semestinya cair per tiga bulan. Namun peningkatan kesejahteraan guru tak serta merta meningkatkan kualitas proses dan keluaran pendidikan. Profesionalisme guru juga tak begitu saja tercipta lantaran tambahan tunjangan tersebut,” tandas dia.

Karena itu, dia mendesak pemerintah melakukan terobosan.
Langkah terobosan itu untuk terus meningkatkan mutu guru, memperbaiki prasarana dan sarana sekolah secara merata, mengembangkan kurikulum yang merangsang kreativitas dan inovasi siswa, serta mengembangkan skema pembiayaan pendidikan yang makin murah dan terjangkau.

”Dari sana kita berharap keluaran pendidikan dapat diandalkan bagi pembangunan bangsa di tengah iklim dunia yang makin kompetitif,” ujar dia.(H28-53)
( Dikutip dari Suara Merdeka hari Kamis, 03 Desember 2009 )
READ MORE - Guru Non-PNS Perlu Perhatian

Sertifikasi Guru Mesti Dibenahi

Jumat, 27 November 2009


TIGA tahun sudah program sertifikasi guru dijalankan. Profesionalitas sekaligus kesejahteraan para ”pahlawan tanpa tanda jasa” diharapkan terdongkrak dengan program itu. Namun alih-alih menjawab dua persoalan mendasar keguruan, sertifikasi justru memicu persoalan baru. Berikut perbincangan dengan Prof Dr Sudijono Sastroatmodjo MSi, Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes), salah satu lembaga pendidikan tenaga kependidikan (LPTK) yang
menjadi penyelenggara program itu.
Banyak guru resah gara-gara ber¬edar kabar Forum Rektor LPTK akan memboikot, bahkan hendak menghentikan sertifikasi guru. Bagaimana sebenarnya?
Ini perlu diluruskan. Jangan sampai kabar yang belum jelas kebenarannya berdampak luas, bahkan bereskalasi. Tak ada kata memboikot. Di dalam pertemuan Forum Rektor LPTK beberapa wak¬tu lalu di Gorontalo, 12 LPTK yang merupakan perguruan tinggi eks-IKIP meminta ada kejelasan pedoman sertifikasi. Sebab, selama ini muncul anggap¬an penyelenggaraan sertifikasi diadakan oleh perguruan tinggi. Itu salah alamat. Perguruan tinggi ditugasi sebagai penyelenggara.
Memang ada dinamika, ada sesuatu yang menimbulkan perbedaan tafsir. Inilah yang harus dijelaskan. Ada perbedaan tafsir atas pedoman penyelenggaraan Karena itu, kami meminta kejelasan pedoman pada 2009 ini agar penyelenggaraan sertifikasi 2010 berjalan lancar dan clear.
Kabarnya Persatuan Guru Republik INdonesa (PGRI) mengancam akan melakukan gerakan organisasi jika Fo¬rum Rektor LPTK benar-benar meng¬hentikan proses sertifikasi?
Saya setuju. Memang harus demikian. PGRI sebagai wadah para guru sudah semestinya bergerak ketika yang diwa¬dahi tidak mendapatkan yang seharusnya didapatkan. Meskipun demikian, tentu mereka tidak bisa menekan siapa pun, termasuk LPTK. Justru yang perlu ditekan adalah pemerintah. Para rektor juga tahu persis, batas-batas mana yang boleh, mana yang tidak boleh.
Tiga tahun berjalan, tak sedikit yang beranggapan sertifikasi tak mampu juga mendongkrak profesionalitas guru. Pendapat Anda?
Saya tidak menampik anggapan itu. Perguruan tinggi menyelenggarakan sertifikasi guru atas dasar portofolio, tapi tidak diketahui guru bisa mendapat portofolio. Bagaimana cara mendapatkannya pun tidak diketahui.
Guru dikatakan profesional jika telah memenuhi syarat. Guru profesional itu se¬ha¬rusnya memiliki kemampuan ke¬pri¬ba¬dian, kemampuan sosial, kemampuan pro¬fesional, dan kemampuan paedagogis.
Kami sepakat dengan pendapat ma¬sya¬rakat, sertifikasi guru belum sepenuhnya berjalan baik. Namun tentu kita masih memiliki harapan, dengan sertifikat di tangan seharusnya setiap guru pantas menjadi teladan bagi dirinya dan menjadi contoh bagi semua.
Ada yang beranggapan penilaian sertifikasi dengan teknik portofolio hanya membuat guru mengejar sertifikat, bahkan mendorong para guru membuat sertifikat asli tapi palsu.
Konon cerita itu terjadi. Namun persoalannya tidak sesederhana yang tampak di permukaan. Orang dikatakan profesional kok hanya karena mengum¬pul¬kan sertifikat, apalagi sertifikat itu diperoleh dengan cara yang tidak semestinya. Misalnya mengikuti seminar atau pelatihan dengan hanya membayar dan titip nama untuk mendapatkan sertifikat.
Itu merupakan upaya tidak jujur, ha¬nya mencari keuntungan diri, sekaligus mengabaikan kepatutan, nilai-nilai moral, dan akademik. Padahal, semangat sertifikasi pada mulanya adalah untuk membangun guru yang profesional. Tapi lepas dari persoalan teknis macam begitu, ini sangat terkait dengan sistem dan budaya.
Anda melihat dampak yang lebih buruk dalam pelaksanaan sertifikasi, baik bagi guru maupun siswa, dan pendidikan pada umumnya?
Dengan sertifikasi, seolah-olah seluruh perhatian dan waktu habis sudah untuk menggenapi portofolio. Akibat¬nya, tugas utama guru untuk memberikan layanan pendidikan bagi siswanya seringkali terkesampingkan. Ini ironis sekali. Tidak boleh terjadi dan harus se¬gera dibenahi.
Program sertifikasi juga telah ikut memicu kejadian-kejadian ekstrem yang menimbulkan keirian. Misalnya muncul kecemburuan antarguru di sebuah sekolah. Sertifikat seolah-olah hanya menjadi alat untuk menjustifikasi seseorang mendapatkan tunjangan.
Memang proses sertifikasi belum se¬pe¬nuhnya baik. Ada guru yang sudah ter¬sertifikasi dan memang sudah sepantasnya mendapatkan sertifikat, tetapi tidak kurang pula guru yang sebetulnya belum pantas mendapatkan justru sudah memperolehnya.
Bagaimana sebenarnya proses sertifikasi guru yang lebih akuntabel?
Lebih baik dengan kegiatan pelatihan, bukan portofolio. Perlu ada pelatihan untuk mengukur standar kemampuan guru. Dengan pelatihan, mereka bisa saling asih, asah, dan asuh. Ada pertukaran pengalaman. Ini sangat berbeda dari portofolio.
Berdasarkan pengakuan sejumlah guru, meskipun pada awalnya merasa enggan mengikuti, setelah menga¬laminya mereka justru merasa senang bisa mengikuti Pendidikan dan Latihan Profesi Guru (PLPG). Dengan pelatihan, barulah guru benar-benar mendapatkan sesuatu yang selama ini belum dimiliki sehingga predikat profesional layak disandangnya.
Di sisi lain, untuk memenuhi akun¬tabilitas publik, di tempat kami (Unnes) nilai setiap guru yang mengikuti sertifikasi bisa diakses dengan bebas melalui internet. Siapa pun bisa melakukan konfirmasi atas nilai yang didapatkan.
Tak sedikit guru yang telah tersertifikasi, tapi belum juga memperoleh tunjangan sebagaimana yang dijanjikan. Akar persoalannya di mana?
Menurut informasi yang saya terima, anggaran dana sebenarnya sudah tersedia, ada di Dinas Pendidikan Provinsi. Namun persoalannya, tidak serta merta setelah lulus sertifikasi seseorang bisa langsung mendapatkan tunjangan. Ada prosesnya.
Persoalan yang selama ini menghambat pencairan tunjangan adalah masih adanya proses administrasi yang belum dilaksanakan dengan baik.
Bagaimana mengatasinya?
Semestinya Dinas Pendidikan, baik di tingkat kota maupun kabupaten proaktif membantu dan mengawal guru dalam menyelesaikan permasalahan ini. Jangan sampai waktu yang dimiliki guru habis hanya mengurusi persoalan sertifikasi. Guru semestinya memberikan layanan kepada anak didiknya dengan baik, sedangkan kepentingan guru dilayani Dinas Pendidikan.
Angka ketidaklulusan begitu tinggi dalam kegiatan sertifikasi. Berdasarkan data 2007, guru yang lulus sertifikasi 30% dan 2008 yang lulus 50%. Ba¬gaimana ini?
Tahun 2007 merupakan awal penyelenggaraan sertifikasi. Wajarlah bila masih begitu banyak yang belum lulus, karena baik guru maupun dosen belum memiliki pengalaman dan belum memahami proses sertifikasi yang sebenarnya.
Bagaimana dengan sertifikasi dosen? Apakah juga ”bernasib” sama dengan sertifikasi guru?
Dalam sertifikasi dosen, jumlahnya sedikit sehingga relatif lancar. Di perguruan tinggi, anggaran dana sudah masuk DIPA. Tidak ada masalah. Tiap bulan otomatis masuk ke gaji para dosen.
Sertifikasi dosen juga ditangani oleh perguruan tinggi. Misalnya dosen Unnes disertifikasi dosen-dosen perguruan tinggi lain, sedangkan Unnes menjadi asesor di perguruan tinggi lain, seperti ITB dan UI. Segala kebijakan yang mengatur hal ini adalah pusat. Kami tinggal mengirim sesuai dengan kouta.
Sistemnya juga sama dan masih ada celah-celah, tapi sudah agak bagus di¬bandingkan dengan sertifikasi guru. Sistem yang digunakan pun sama, yaitu de¬ngan portofolio. Bedanya, jika ada dosen yang tidak lulus, bisa mengikuti sertifikasi dua tahun kemudian.
Proses sertifikasi guru dan dosen ditargetkan selesai 2015. Bisakah target itu tercapai?
Yang mendesak sebenarnya bukan selesai atau tidak pada tahun itu, me¬lain¬kan perlunya evaluasi tiap tahun, terutama sistemnya. Jangan seolah-olah ke¬giatan ini target semata tetapi hilang fi¬losofinya, sekalipun kesejahteraan para guru meningkat.
Semestinya targetnya adalah adanya peningkatan kualitas, karena sertifikasi dilaksanakan berangkat dari kesadaran bersama untuk menyelesaikan permasalahan pendidikan. (35)
(Dikutip dari hasil wawancara oleh Suara Merdeka , 22 Nopember 2009)
READ MORE - Sertifikasi Guru Mesti Dibenahi

Sikap Guru Berimplikasi Luar Biasa

Rabu, 25 November 2009

JAKARTA-Menteri Pendidikan Nasional Prof Dr Ir Muhammad Nuh DEA menilai, sikap dan perilaku guru mempunyai implikasi yang luar biasa terhadap
anak didik. Untuk itu, dia mengingatkan agar para guru terus meningkatkan kualitas.

“Guru mempunyai peran vital dalam pendidikan sebagai sebagai sumber keteladanan. Jadi, tidak ada ceritanya sekolah tanpa guru,” katanya usai menjadi pembina upacara pada
Peringatan Hari Guru Nasional (HGN) 2009 dan HUT Ke-64 PGRI di Kantor Depdiknas, Jakarta, Rabu kemarin.

Tema Peringatan HGN 2009 dan HUT PGRI kali ini adalah “Memacu Peran Strategis Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Masyarakat, dan Guru dalam Mewujudkan Guru Profesional, Sejahtera, Bermartabat, dan Terlindungi”.

Dalam kesempatan itu, Mendiknas menegaskan guru dapat berprestasi dan pendidikan bisa tumbuh dengan baik bila semua komponen pendukungnya dilengkapi, termasuk kesejahteraan guru.

“Isu sentralnya adalah bagaimana meningkatkan kualitas, dedikasi, dan komitmen para guru sehingga bermuara pada kualitas pendidikan,’’ ujarnya.

Kesejahteraan

Mendiknas menambahkan, jika dibandingkan dengan PNS lain, sebenarnya kesejahteraan guru relatif sudah bagus.
Oleh karena itu, dia mengajak agar semua pihak tidak terjebak hanya dalam urusan kesejahteraan.

“Sebab kalau kita terjebak dalam urusan kesejahteraan, guru itu lebih dekat sebagai pekerja bukan profesi. Kualitas pendidikan bisa dicapai dengan cara terus menerus mengikuti perkembangan zaman,” tandasnya.

Menurut dia, kualitas selalu bergerak dan terukur. Misalnya, angka partisipasi kasar (APK), jumlah perbandingan guru dan murid serta jumlah perbandingan SMK dengan SMA.

“Prestasi keteladanan dan kepeloporan para guru yang telah ditunjukkan semasa revolusi hingga sekarang, adalah semangat dan tradisi perjuangan yang perlu terus menerus diselaraskan seiring dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan, seni, dan budaya,” ujar Mendiknas. (H28-45)
(Dikutip dari Suara Merdeka Kamis, 26 Nopember 2009)
READ MORE - Sikap Guru Berimplikasi Luar Biasa

Rekrutmen Guru Belum Sesuai Harapan

Selasa, 24 November 2009


SEMARANG-Sistem rekrutmen CPNS guru belum sesuai dengan harapan dan kebutuhan karena tes yang diberlakukan untuk guru tak ada bedanya dengan yang lain.

”Bahkan materi tesnya sama dengan yang diberikan untuk penjaga makam atau tenaga administrasi lain,” tandas Ketua PGRI Kota Semarang Drs Ngasbun Egar MPd.

Dia mengemukakan hal itu dalam Forum Komunikasi Wartawan dan LSM di Aula Gedung D Kantor Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah, Senin kemarin.

Ngasbun menilai, sudah seharusnya rekrutmen guru dibedakan dengan rekrutmen tenaga profesi lain. Kompetensi yang dibutuhkan untuk mengajar berbeda dari profesi lain. Di samping itu inventarisasinya pun harus dilakukan dengan cermat. ”Pendataan yang ada masih belum baik, terutama terkait dengan kebutuhan guru di tiap daerah.”

Menurut dia, pemerintah selama ini cenderung menyepelekan masalah pendataan sehingga kebutuhan guru tak dapat terpenuhi secara optimal. ”Di beberapa daerah terjadi penumpukan guru sementara di tempat lain justru kekurangan,” ungkapnya.

Disorientasi Pendidikan

Di sisi yang lain, Ngasbun juga menilai telah terjadi disorientasi pendidikan. Dia menganggap telah terjadi penyempitan dunia pendidikan. Indikasinya bisa dilihat dengan digunakannya hasil UN sebagai ukuran keberhasilan pendidikan.

”Ini tidak tepat mengingat materi yang diujikan hanya terfokus pada pengetahuan, sementara sikap yang menjadi bagian tak kalah penting dalam dunia pendidikan justru diabaikan,” terangnya.

Belum lagi, lanjut dia, ada wacana baru hasil UN diintegrasikan dengan SNMPTN. Hal itu akan membawa dampak buruk terhadap perguruan tinggi yang bersangkutan karena bisa salah pilih peserta didik.

”Apakah tepat jika mereka yang akan masuk ke jurusan seni kemampuannya diukur dengan sejumlah mata pelajaran saja. Kalau begitu dari mana potensi seni yang dimiliki bisa terlihat,” tegas dia.

Dalam forum tersebut dipaparkan sejumlah permasalahan pendidikan lainnya, termasuk komitmen guru dalam mengajar.

Menurut dosen pengajar FIP Unnes Drs Sugiyarta SL MSi, seorang guru harus memiliki komitmen kuat dalam mengajar, tidak sebatas pada lingkungan sekolah tetapi juga masyarakat. ”Selain itu, jangan hanya terfokus pada aspek akademis akan tetapi juga pada pembentukan sikap dan moral,” imbuh dia. (H31-45)
(Dikutip dari Suara Merdeka hari Selasa, 24 Nopember 2009 )
READ MORE - Rekrutmen Guru Belum Sesuai Harapan

2010, Peserta UN SMA/MA Disilang

Sabtu, 14 November 2009

INTEGRASI UN DAN SNMPTN
SEMARANG - Dalam ujian nasional (UN) 2010 SMA/MA,
peserta akan disilang antarsekolah.

Anggota Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP), Prof Mungin Eddy Wibowo, menyatakan penerapan sistem silang antarsekolah telah diberlakukan bagi pengawas ujian yang berasal dari kalangan guru pada penyelenggaraan sebelumnya.
READ MORE - 2010, Peserta UN SMA/MA Disilang