Perdebatan yang Tak Berujung

Minggu, 06 Desember 2009


SEJAK diselenggarakan pertama kalinya pada pemerintahan Megawati Soekarnoputri, Ujian Akhir Nasional (UAN), telah menjadi perdebatan yang tak kunjung usai oleh pihak-pihak yang merasa berkepentingan.

Tak terhitung pula banyaknya argumen yang disampaikan oleh pendukung maupun penolak UAN-yang belakangan berubah nama menjadi Ujian Nasional (UN).

Pengamat pendidikan Lukman Hakiem menuturkan, penolak UN berpandangan, dalam UU Sistem Pendidikan Nasional, hak untuk menentukan kelulusan peserta didik ada pada pendidik.

Sebab, guru sebagai pengajar, tentunya lebih tahu evaluasi peserta didiknya. Sementara pada pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, UN digagas oleh mantan Wapres Jusuf Kalla.

Saat itu, pemerintah menginginkan adanya standar nasional. Tujuannya adalah untuk mengukur kualitas peserta didik.

“Belakangan, UN menjadi penentu utama kelulusan siswa, meski secara tersurat, tidak tercantum dalam aturan. Sebab dalam peraturan pemerintah, UN hanyalah salah satu syarat kelulusan,” paparnya.

Yang terjadi berikutnya adalah, banyak peserta didik yang cemerlang prestasinya, kemudian gagal meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi karena yang bersangkutan tak lulus UN. “Ada kasus, siswa yang sudah diterima di Universitas Oxford Inggris, gagal karena dia tidak lulus UN,” ujarnya.

Tidak hanya itu, setiap tahun, selalu saja muncul permasalahan seputar UN. Hal itu tak lepas karena pihak yang pro dan kontra UN tetap pada pendiriannya. Dari semuanya itu, murid sebagai peserta didiklah yang paling menderita.
“Setiap pelaksanaan UN, murid selalu menjadi terhukum.

Padahal, ketidaklulusan itu bukan selalu disebabkan karena murid itu bodoh. Sebab, bisa saja pengajarnya memang tidak bagus dan sarana prasarana sekolahnya yang kurang memadai,” imbuhnya.

Dia menemukan di sejumlah daerah, ada sekolah yang tidak memiliki laboratorium IPA atau Bahasa Inggris. Tak heran bila siswa di sekolah tersebut kesulitan mendapat nilai bagus dalam dua mata pelajaran tersebut.
“Bagaimana mau memenuhi standar nasional kalau masih ada sekolah yang yang belum standar,” kritiknya.

Meski dia melihat kebijakan UN tersebut terkesan dipaksakan, tetapi dirinya mengaku tidak menemukan bukti bahwa pelaksanaan UN hanya sekadar proyek.

Namun dia mencatat, sejumlah praktisi pendidikan yang awalnya “anti” UN, belakangan justru menjadi pendukung saat menjadi pejabat di Depdiknas.
Tak kunjung usainya perdebatan, juga membuat sejumlah elemen masyarakat yang menolak UN menggugat pemerintah di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Para penggugat mengungkapkan, pelaksanaan UN tidak sesuai fakta di lapangan.

Pada Mei 2007, gugatan tersebut dikabulkan oleh PN Jakpus. Para tergugat yang terdiri atas Presiden, Wakil Presiden, Mendiknas dan Ketua Badan Standar Nasional Pendidikan, dinilai telah lalai dalam memberikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negaranya yang menjadi korban UN, khususnya hak atas pendidikan dan hak anak-anak.

Kemudian, PN Jakpus memerintahkan kepada para tergugat untuk meningkatkan kualitas guru, kelengkapan sarana dan prasarana sekolah, akses informasi yang lengkap di seluruh daerah di Indonesia , sebelum mengeluarkan kebijakan pelaksanaan UN lebih lanjut.

Langkah Konkrit

PN Jakpus juga memerintahkan kepada para tergugat untuk mengambil langkah-langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi dan mental peserta didik dalam usia anak akibat penyelenggaraan UN. Lalu pada butir berikutnya, PN Jakpus memerintahkan kepada para tergugat untuk meninjau kembali sistem pendidikan nasional.

Atas putusan tersebut, pemerintah kemudian mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta. Namun pada Desember 2007, banding yang diajukan juga ditolak. Selanjutnya, pemerintah mengajukan kasasi, yang juga ditolak oleh Mahkamah Agung pada 14 September 2009.

Tak pelak, putusan MA tersebut menimbulkan reaksi beragam. Bahkan sejumlah kalangan berpendapat, belum standarnya kualitas guru, sarana prasarana, akses informasi dan langkah konkrit untuk mengatasi gangguan psikologi bagi korban UN, menjadi dasar penghapusan UN.

Tak kurang Wakil Ketua Komisi X Heri Akhmadi berpandangan, legitimasi pelaksanaan UN telah rontok. Bahkan jika 2010 UN tetap dilaksanakan, hal itu dinilainya sebagai contoh buruk kepatuhan hukum dari menteri pendidikan nasional.

“Pemerintah bisa saja ngotot melaksanakan UN. Tetapi karena banyaknya kecurangan dalam pelaksanaannya serta adanya putusan MA tersebut, legitimasi UN telah rontok,” kata politikus dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu.

Bahkan menurutnya, jika UN tetap dilaksanakan, maka masyarakat akan semakin mencibir hasil UN. Namun, Kepala Biro Hukum dan Humas MA, Nurhadi, membantah dalam putusan MA tersebut terdapat pelarangan terhadap pelaksanaan UN.

Terlebih, tidak ada permohonan terkait dengan penghapusan UN. Menurutnya, majelis hakim kasasi MK menolak kasasi yang diajukan pemerintah dan menguatkan putusan PN Jakarta Pusat. “MA tidak pernah melarang pelaksananaan UN. Namun MA memerintahkan agar pelaksanaan UN diperbaiki,” ucapnya.

Dengan dasar itu pula, Wakil Ketua Komisi X Hakam Naja menganggap UN 2010 tetap kredibel dilaksanakan.

Sebab menurut Hakam, hingga saat ini belum ada putusan hukum tetap pasca putusan MA, yang diikuti dengan rencana pengajuan peninjauan kembali (PK) oleh pemerintah.

“Pelaksanaan UN 2010 tetap sah dan kredibel, selama belum ada putusan hukum tetap. Apalagi proses hukum masih berjalan dengan adanya rencana pengajuan PK oleh pemerintah,” kata politikus dari Partai Amanat Nasional tersebut.

Badan Standar Nasional Pendidikan sebagai pelaksana UN juga berpendapat demikian. Sebab, tidak ada satu pun kalimat dalam putusan MA yang secara eksplisit menolak penyelenggaraan UN.

Anggota BSNP Mungin Edi Wibowo menegaskan, salah satu tugas BSNP yang tercantum dalam PP Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, adalah menyelenggarakan UN. Dengan berpedoman pada hal itu, keliru bila tahun 2010 BSNP tidak menyelenggarakan UN.

“Kalaupun UN dihapus, maka PP mengenai hal itu harus diubah terlebih dahulu. Selama belum ada putusan penghapusan, maka BSNP akan tetap menyelenggarakan UN. Kami tidak berani melanggar amanat PP,” tegasnya.(Saktia Andri Susilo-76)
(Dikutip dari Harian Suara Merdeka Senin, 7 Desember 2009)

0 komentar:

Posting Komentar