UN dan Mutu Pendidikan

Minggu, 06 Desember 2009


PUTUSAN Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan para penggugat disambut meriah dengan berbagai demo penolakan ujian nasional (UN) oleh masyarakat. Penolakan UN mendapatkan legitimasi hukum dengan putusan kasasi tersebut.
Sejak awal UN memang sudah mengundang penolakan berbagai pihak terutama para guru. Menurutnya, UN harus di kesampingkan sebagai syarat kelulusan seperti dalam PP 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Pasal 72 Ayat (1) poin 4.
Namun pemerintah tetap pada pendiriannya bahwa tahun ini ujian sekolah tetap dilakukan. Menurut mendiknas, Ujian Nasional bukan satu-satunya syarat kelulusan siswa. Ditegaskan bahwa untuk menentukan kelulusan harus memenuhi empat kriteria yakni pertama, menyelesaikan seluruh proses belajar-mengajar.
Kedua, lulus berkaitan dengan moral akhlak maupun administrasi. Ketiga, lulus ujian sekolah. Dan keempat, lulus Ujian Nasional. Tahun ini nilai UN ditetapkan minimal rata-rata 5,5, tapi boleh ada angka 4 dari salah satu mata pelajaran yang di UN-kan. Pernyataan Mendiknas itu tetap dijawab dengan demo penolakan UN di berbagai daerah. Nampaknya menolak lebih gampang daripada menyiapkan diri dengan baik untuk menempuh UN.
UN sejatinya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jangkar peningkatan mutu pendidikan melalui pemetaan mutu pendidikan secara nasional. Namun sayangnya di lapangan banyak penyimpangan mulai dari penyimpangan pemahaman konsep tentang hakikat UN, hingga hakikat kelulusan yang menghalalkan segala cara. Atas kondisi tersebut itulah yang terjadi UN bukan sebagai jangkar peningkatan mutu pendidikan, melainkan justru menjadi sumber keterpurukan.
Bencana itu mulai mengancam hakikat pendidikan nasional mana kala UN diposisikan sebagai penentu kelulusan, sehingga sekolah dan guru yang tidak siap dengan kondisi ini terpaksa menempuh jalan pintas dengan drill, dalam try out, bekerja sama dengan lembaga bimbingan belajar dan bahka ada yang sampai membentuk tim sukses dan beberapa kabupaten menolak kehadiran Tim Independen pemantau UN demi menjaga kesuksesan kecurangan yang mereka skenariokan untuk menyiasasti UN di daerahnya.
Kini bahkan ketika pemerintah tidak lagi menjadikan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan, toh telanjur sekolah, guru, siswa dan masyarakat menolaknya. Terlepas dari kurang sempurnanya penyelenggaraan UN, jika dicermati, penolakan itu juga menandakan lemahnya kesiapan sekolah, guru, siswa, dan masyarakat untuk menghargai budaya mutu dalam bidang pendidikan. Sekolah yang sudah memiliki kesadaran mutu tidak terlalu risau dengan UN karena mereka bisa menghadapi UN dengan sukses, namun sekolah kategori ini jumlahnya sangat kecil dibanding sekolah yang budaya mutunya masih lemah. Mereka inilah yang gigih menolak.
Tapak Historik
Ujian nasional bukanlah hal yang baru. Sejak 1945-1971 kita sudah melakukan Ujian Negara. Ujian sepenuhnya dilakukan oleh pemerintah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Dampaknya, kelulusan rendah, banyak kritik masyarakat, tidak ada seleksi ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, mutu lulusan tinggi. Sistem ini lantas diperbaiki dengan Ujian Sekolah 1971-1983; Ujian sepenuhnya dilakukan oleh sekolah baik penyiapan bahan, pelaksanaan, maupun penetapan kelulusan. Tidak ada batas lulus; dampaknya kelulusan hampir 100 persen, masih diperlukan seleksi lagi ke jenjang lebih tinggi, mutu rendah, banyak kritik masyarakat. Sistem ini akhirnya diperbaiki dengan Ebtanas (1983-2002).
Dalam sistem ini dikenal kombinasi PQR, di mana nilai akhir atau kelulusan adalah P (nilai semester satu) + Q ( nilai semester dua) + 3R (nilai ebtanas murni). Hasilnya banyak terjadi mark up nilai P dan Q oleh guru atas restu kepala sekolah dan kepala dinas pendidikan. Semua peserta lulus, anak rajin atau anak malas, anak pandai atau anak bodoh semuanya lulus.
Pada saat itu, benar-benar tidak ada penjaminan mutu, bahkan kewibawaan pendidikan di titik nadir demikian pula kewibawaan guru. Quality control dan quality assurance tidak ada. Efek negatif Ebtanas adalah tidak memotivasi siswa belajar lebih giat dan prestatif; tidak memotivasi guru untuk mengajar dan mendidik dengan lebih bersungguh-sungguh, tidak menumbuhkan budaya mutu dan tradisi berkompetisi untuk mencapai keunggulan bangsa, memberikan pendidikan yang semu.
Penolakan UN bukan semata-mata soal landasan yuridis yang salah satu pasalnya menyebut kewenangan meluluskan siswa ada pada guru. Alasan empiris yang kasat mata sejatinya adalah masih lemahnya kesiapan sekolah dan kesiapan guru untuk bekerja lebih bermutu. Artinya standar performance guru memang masih jauh dari mutu yang syaratkan untuk bisa meluluskan murid dengan standar kelulusan sesuai standar UN. Lihat saja kinerja mereka para guru yang sudah lulus sertifikasi juga masih jauh panggang dari api.
Rendahnya kinerja guru tidak lepas dari penyiapan guru saat masih di LPTK ada guru-guru yang direkrut dari LPTK beneran dan ada juga guru yang direkrut dari LPTK abal-abal yang proses perkualiahannya tanpa ada kontrol mutu. Rekrutmen guru kita juga kental nuansa politik ketimbang nuansa akademik. Lihat demo para guru bantu, guru honorer untuk menjadi CPNS adalah indikasi rekrutmen guru bukan berbasis pertimbangan akademis melainkan lebih dilandasi kebijakan politik.
Celakanya, mereka ini lebih asyik menuntut hak-haknya sebagai PNS ketimbang sadar diri atas kewajibannya sebagai guru profesional untuk terus bergulat meningkatkan kemampuan profesionalnya. Kecurangan dalam sertifikasi, manipulasi dalam pengumpulan angka kredit untuk kenaikan pangkat adalah jalan pintas yang dilakukan guru untuk mendapat hak kesejehteraannya. Akankah mereka bisa dituntut untuk mengajar lebih bermutu? Di tangan guru-guru yang rendah komitmen moralnya, rendah tanggung jawab profesionalnya maka UN menjadi momok yang harus ditolak.
Di samping rendah kinerja profesional guru, sisi lain yang menjadi penyebab rendahnya mutu pendidikan di sekolah adalah manajemen sekolah. Umumnya, manajemen sekolah masih belum melakukan model penjaminan mutu yang kokoh dan terukur; dalam kondisi guru yang tidak siap dan kinerjanya masih rendah ditambah dengan manajemen sekolah yang belum nenerapkan sistem penjaminan mutu berkelanjutan maka penolakan UN adalah jalan pintas yang bisa dirasionalisasikan dengan dalih apa pun apalagi sekarang ada putusan MA yang bisa melegitimasi penolakan itu. Menyerahkan kembali standar kelulusan kepada guru jelas bukan hal yang bijak jika kita melihat sejarah manipulasi nilai P dan Q oleh para guru di era Ebtanas.
Padahal dari sisi yuridis penyelenggaraan UN sebagai salah satu upaya peningkatan mutu pendidikan sudah cukup kuat. UU Sistem Pendidikan Nasional; Pasal 11: Pemerintah wajib menyelenggarakan pendidikan bermutu bagi masyarakat tanpa diskriminasi; Pasal 35: Ada 8 Standar Nasional Pendidikan, dua di antaranya: Standar Kompetensi Lulusan; dan Standar Penilaian Pendidikan. Pasal 58 Ayat (1): Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan (Internal Evaluation); Pasal 58 Ayat (2): Evaluasi peserta didik, satuan pendidikan, dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik, untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan (External Evaluation).
PP tentang Standar Nasional Pendidikan; Pasal 63; Ayat (1): Penilaian pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah terdiri atas: a. Penilaian oleh pendidik; b. Penilaian oleh satuan pendidikan; dan c. Penilaian oleh Pemerintah. Pasal 66 Ayat (1): Penilaian hasil belajar oleh Pemerintah bertujuan untuk menilai pencapaian standar kompetensi lulusaan secara nasional dilakukan dalam bentuk ujian nasional. Dari perspektif di atas UN masih layak dilanjutkan dengan berbagai perbaikan teknis, di sisi lain dibarengi dengan peningkatan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah yang berbasis peningkatan mutu berkelanjutan.
Perbaikan mutu kinerja guru dan manajemen sekolah merukan dua ujung tombak peningkatan mutu pendidikan yang mendesak harus dilakukan. Berbagai kekurangan fasilitas dan sarana prasarana sejatinya bisa diatasi dengan manajemen sekolah yang baik ditambah dukungan dana investasi dan dana pengembangan pendidikan dari pemerintah pusat.

Penjaminan Mutu Pendidikan
Upaya pemerintah untuk terus meningkatkan mutu pendidikan semakin serius dan tidak bisa ditawar lagi dengan diterbitkannya Permendiknas No 63 Tahun 2009 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan. Permendiknas No 63 Tahun 2009 memberikan arahan yang jelas tentang penjaminan mutu pendidikan. Ada dua hal utama yang harus dilakukan untuk penjaminan mutu pendidikan yakni pertama, melakukan Evaluasi Diri Sekolah (EDS), kedua; melakukan Monitoring Sekolah Oleh Pemerintah Daerah (MSPD).
Evaluasi Diri Sekolah (EDS) untuk melakukan pemetaan mutu sekolah oleh pihak sekolah sendiri secara jujur dan transparan sehingga dapat ditemukan akar permasalahan yang dihadapi dalam penjaminan mutu pendidikan, selanjutnya bisa dirumuskan rekomendasi atau langkah nyata dalam penjaminan mutu pendidikan. Evaluasi Diri Sekolah merupakan langkah proaktif untuk mengeliminasi ketidakjujuran sekolah dalam menempuh evaluasi yang dilakukan oleh Badan Akreditasi Sekolah. Bukan rahasia lagi bahwa banyak sekolah melakukan manipulasi data dan fakta saat menghadapi tim asesor badan akreditasi sekolah. Melalui EDS hal tersebut tidak perlu dilakukan lagi.
Adapun Monitoring Sekolah oleh Pemerintah Daerah (MSPD) merupakan perwujudan dari pertanggungjawaban pemerintah daerah yang memiliki kewenangan dalam bidang pendidikan sesuai dengan UU Otonomi Daerah sehingga pemerintah daerah dituntut mampu melakukan monitoring yang terkait dengan penjaminan mutu sekolah. Patut dicatat saat ini masih banyak pemkab/pemkot yang tidak memiliki sistem baku tentang penjaminan mutu pendidikan yang menjadi kewenangannya.
Untuk bisa melakukan penjaminan mutu pendidikan yang berkelanjutan pemerintah telah menugaskan kepada Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) di 30 provinsi untuk mendampingi dan memfasilitasi sekolah dan pemerintah kebupaten/kota dalam melaksanakan penjaminan mutu di sekolah. LPMP dibekali dengan berbagai kemampuan teknis operasional dann kerangka konseptual dalam penjaminan mutu pendidikan.
Dimulai dari pemetaan kualitas pembelajaran di sekolah, kualitas kepemimpinan kepala sekolah dan pengawas sekolah sampai pada penningkatan kemampuan guru dalam menyusun karya ilmiah, penelitian tindakan kelas, penelitian tindakan sekolah. Semuanya sudah disiapkan di LPMP yang menjadi persoalan adalah apakah para bupati/wali kota, DPRD kepala dinas pendidikan kabupaten/kota memiliki good will dan political will untuk meningkatkan mutu pendidikan di daerahnya. (76)
—Dr Nugroho MPd, Pakar Pendidikan Universitas Negeri Semarang.

0 komentar:

Posting Komentar